Gus Dur

43

karena harga minyak yang menggila (Britannica, 2020).

Kenaikan harga ini pada awalnya membawa harapan

bagi pemulihan dunia Islam. Namun, hal ini tak kunjung

menjadi kenyataan di tangan para pemimpin Arab yang

sekuler. Hal ini membuat banyak Muslim kecewa dan

mengejawantahkannya

dengan

penerimaan

mereka

terhadap fundamentalisme Islam.

Di sisi lain, Revolusi Iran yang terjadi pada saat

bersamaan dan juga menjadi faktor kenaikan harga

minyak menciptakan rivalitas antara Arab Saudi dan

Iran. Kenaikan harga minyak menyediakan uang yang

berlimpah dan membuat negara-negara penghasil minyak

di Timur Tengah kaya. Arab Saudi memperkuat legitimasi

kulturalnya dengan memperkuat keberadaan Wahabisme.

Dengan dana yang berlimpah, pengaruh Wahabisme

semakin kuat di Dunia Islam. Mereka menyediakan

banyak dana untuk beasiswa studi di Arab Saudi dan

mendirikan banyak institusi sebagai wadah penyebaran

Wahabisme. Di Indonesia, Arab Saudi membangun

LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) di

Jakarta pada 1980. Seorang ilmuan politik dari Perancis,

Gilles Kepel, menamai fenomena ini sebagai Petro-Islam

merujuk pada propaganda internasional yang secara masif

membangun interpretasi Islam oleh kelompok ekstremis

dan fundamentalis yang secara umum berasal dari

kelompok Suni dan menggunakan doktrin Muhammad ibn

Abd al-Wahhab, sebagai pendiri dari Wahhabisme yang

didukung oleh Kerajaan Arab Saudi dan beberapa negara

Arab lainnya. Pada saat bersamaan Gerakan Mujahidin di

Afghanistan juga meningkat drastis pada akhir 1970an.

Gerakan ini juga sangat menikmati gelombang petro-Islam

dan kemudian bermetamorfosis menjadi Al Qaeda pada

akhir 1980an (Kepel, 2002).